Memulai Berwirausaha

Memulai  Berusaha
Selasa, 6/7/2010 | 05:25 WIB
Bursa tenaga kerja adalah ajang yang selalu diburu para pencari kerja. Para sarjana dari berbagai perguruan tinggi berlomba mengadu nasib demi pekerjaan yang diidamkan.
aka, setiap ajang itu digelar, pesertanya luber, antrean mengular. Tak sedikit bahkan peserta yang mengikuti bursa kerja hingga beberapa kali.
Salah seorang mahasiswa lulusan sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, Jawa Tengah, menghitung, ia telah mengunjungi bursa kerja yang digelar di ibu kota Jateng dan kota-kota di sekitarnya itu hingga 10 kali.
Selain memburu bursa kerja, dia juga giat mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan melalui koran dan internet. Tekadnya bulat, terus berupaya mencari pekerjaan.
Salah seorang sarjana ekonomi di perguruan tinggi negeri yang sama punya kisah serupa. Sejak lulus tahun 2009 hingga kini, ia belum mendapat pekerjaan. Padahal, dia sudah melamar ke berbagai perusahaan. Meski sempat putus asa, dia berusaha tetap optimistis.
Memulai usaha
Cerita itu hanya sepenggal fakta betapa sulit mencari pekerjaan. Maka, jumlah pengangguran tahun 2010 diperkirakan melonjak hingga 23 juta orang. Jadilah pemerintah mendorong agar kampus mampu mencetak wirausaha yang mampu membuka lapangan kerja, setidaknya untuk diri sendiri.
Sejumlah mahasiswa telah mencoba. Mereka merintis usaha meski umumnya modal menjadi masalah yang harus dihadapi. Nugroho Pratomo, mahasiswa semester VIII Jurusan Akuntansi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, misalnya, akhir tahun 2009 ia memberanikan diri memulai usaha kaus kartun online-nya.
Dibantu seorang teman, ia menawarkan keahliannya mendesain kaus di forum komunikasi dunia maya. Ia mengandalkan pesanan dari calon pembeli, yang lalu dia masukkan pada vendor kaus. Jurus itu cukup jitu. Tomi, panggilannya, segera mendapat pesanan 80 kaus dengan harga satuan Rp 65.000.
”Lumayan. Dari jumlah itu saya untung separuhnya. Ini kemudian saya putar sebagai modal,” kata Tomi.
Dengan modal itu, Tomi membuat kaus berlabel Various Cartoon. Ciri khasnya, kartun bertema budaya Indonesia.
Untuk menekan biaya promosi, dia lagi-lagi memilih pemasaran lewat internet. Selain melalui Kaskus, ia juga membuat situs dan memanfaatkan jejaring sosial Facebook.
”Modal saya hanya sedikit. Kalau menjual secara online, kan gratis. Ini lumayan menekan biaya promosi,” katanya.
Dia juga memanfaatkan teman-teman di kampus untuk menawarkan kaus produksinya. ”Mereka saya beri persenan kalau bisa menjualkan kaus saya.”
Sejauh ini, usaha Tomi berjalan lumayan stabil. Setiap bulan rata-rata pesanan kaus sebanyak 80-100 helai. Dan, sejak empat bulan lalu, ia bergabung di Komunitas Pengusaha Tangan Di Atas Yogyakarta.
Sepatu batik
Agnes Tandia, mahasiswi semester VII Jurusan Kriya Tekstil, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, memulai usaha dengan menjual sepatu berbahan batik. ”Awalnya saya membuat jaket batik. Jaket itu saya pakai ke kampus, pamer ke teman-teman,” kata Anes, panggilannya.
Trik itu berhasil. Banyak teman yang tertarik dan memesannya. Bermodal Rp 400.000, Anes membuat empat jaket dan ludes dibeli teman-teman.
Melihat batik sisa pembuatan jaket menumpuk, ia lalu membuat sepatu. Tahun 2009 Anes percaya diri memamerkan sepatunya sebanyak dua lusin di Inacraft.
”Sebenarnya saya nebeng di stan kakak kelas. Saya menitipkan kartu nama sebanyak mungkin.”
Sepatu produk Anes habis diborong. Ia berhasil mengantongi hasil penjualan Rp 4 juta. Uang itu kemudian dia putar untuk memproduksi sepatu bermerek Just Kulkith.
”Karena masih mahasiswa, modal saya terbatas. Jadilah saya memilih pemasaran online. Pembeli memesan, membayar, baru sepatu dibuat,” katanya.
Dia juga menggunakan cara pemasaran yang ”tak biasa”, ikut mensponsori blogger yang dikenal luas di dunia maya sebagai fashion blogger. Blogger itu mengapresiasi produknya dan memberi review positif. Jadilah penjualan sepatunya melonjak. Pembeli tak hanya di Indonesia, tetapi sampai Malaysia dan Belanda. Tahun 2009 Anes mengirim lima lusin sepatu ke Belanda. Omzet usahanya kini sekitar Rp 50 juta per bulan.
Dia lalu merintis offline store di Bandung serta merekrut saudara dan teman- teman untuk membantu usahanya. Anes juga berencana membuka toko di Bali.
Meski tampak mulus, usaha Anes bukannya tanpa hambatan. Salah satunya adalah pemasaran. Mata kuliah yang sebenarnya diajarkan di kampus itu tak cukup memadai.
“Saya belajar sambil jalan. Karena usaha saya tak langsung besar, jadi saya bisa belajar pelan-pelan. Kalau usaha ini langsung besar, mungkin saya juga kesulitan,” kata Anes yang mantap akan membesarkan usaha setelah lulus kuliah.
Usaha patungan
Sementara itu, Kurnia Abidzar Rahadi, mahasiswa semester VIII Prasetiya Mulya Business School Jakarta, merintis usaha bersama empat temannya sekampus. Usaha mereka, Oasse Family Reflexology & Relaxation Centre, didirikan sebagai tugas akhir kuliah.
”Kami memilih usaha servis (jasa). Meski investasinya cukup besar, tetapi setelah itu relatif mudah pengelolaannya,” tutur Abi, panggilannya. Modal mereka mendirikan Oasse pada Desember 2009 sebesar Rp 120 juta.
Abi dan kawan-kawan optimistis. Bidang yang mereka bidik tepat karena jasa ini menggabungkan kesenangan dan kesehatan. Ini kebutuhan setiap orang, terutama mereka yang berusia produktif. Dengan 12 karyawan, jumlah pengunjung pada hari biasa sebanyak 40-50 orang. Sementara pada akhir pekan jumlahnya meningkat menjadi 70-90 orang.
Seperti halnya Abi dan kawan-kawan, Sigit Haryodigdoyo, mahasiswa semester V Jurusan Manajemen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga menggandeng teman-temannya untuk membesarkan usaha desain kaus, Six Green Clothing.
”Masing-masing dari kami memiliki kemampuan berbeda. Saat ada pekerjaan yang menuntut kerja sama, kami menggunakan kemampuan masing-masing agar proyek sukses,” ujar Sigit.
Meski usaha yang dirintis tak selalu mudah, tetapi fakta makin banyaknya pengangguran di negeri ini membuka mata mereka untuk maju membesarkan usaha. ”Syukur-syukur kalau nanti kami bisa merekrut tenaga baru,” ucap Sigit.
(DOE)